Movies / Series · Review and Impression

Ulasan dan Impresi: Battle of Surabaya

Sekitar 5 tahun yang lalu, industri animasi Indonesia tengah dihebohkan dengan penantiannya akan kelahiran sebuah produksi film animasi dalam negeri yang diganyang-ganyang sebagai “animasi terbaik karya anak bangsa”. Produksi ini dikabarkan cukup ambisius sampai-sampai meraih penghargaan dan perhatian dari blantika sinema dunia, termasuk Disney yang katanya berminat bekerjasama. Film ini diberi judul “Battle of Surabaya”.

Setelah sekian lama mengendap, saya memutuskan untuk kembali mengangkat judul ini dalam ulasan saya di Hari Pahlawan tahun ini. Entah mungkin untuk mengingat kembali bahwa ada animasi lokal yang pernah terngiang di dunia atau hanya untuk melihat kembali kondisi industri animasi Indonesia. Tenang, saya berbicara mengenai filmnya, kok.

Berikut sinopsis Battle of Surabaya yang disadur dari situs resminya, dengan terjemahan bebas:

Kisah Battle of Surabaya adalah adaptasi dari peristiwa tanggal 10 November 1945 di Surabaya silam. Musa (Ian Saybani), seorang penyemir sepatu mendapatkan misi sebagai kurir pesan yang mengirimkan surat-surat rahasia kepada prajurit militer dan pejuang Indonesia. Selain surat rahasia, Musa juga mengirimkan surat-surat pribadi para prajurit kepada keluarganya. Bersama temannya, Yumna (Maudy Ayunda) dan Danu (Reza Rahardian), Musa mengalami berbagai petualangan yang mengorbankan orang-orang yang ia sayangi.

Battle of Surabaya adalah sebuah film animasi 2D sepanjang 99 menit yang diproduksi oleh MSV Pictures di bawah lembaga pendidikan STMIK AMIKOM Yogyakarta. Film ini disutradarai sekaligus ditulis oleh Aryanto Yuniawan, yang sekaligus CEO dari MSV Pictures bersama M.Suyanto selaku produser. Film ini telah diproduksi selama 5 tahun dengan biaya sebesar US$ 5.000.000,00 (sekitar 60 hingga 70 milyar rupiah). Battle of Surabaya telah rilis selama 7 hingga 14 hari di teater dalam negeri pada tanggal 20 Agustus 2015, namun dengan pemasukan yang belum diketahui. Selain di bioskop, Battle of Surabaya juga dapat dinikmati secara waktu terbatas melalui in-flight screening di sejumlah penerbangan di Garuda Indonesia.

Film ini telah menjadi sensasi di industri kreatif karena banyak kegiatan maupun hiruk pikuk di media sosial. Sebelum film ini ditayangkan, Battle of Surabaya telah menerima sejumlah penghargaan, yang dua di antaranya merupakan penghargaan untuk trailer film (Golden Trailer Awards 2014 dan International Movie Trailer Festival 2013). Sampai hari ini, tim “Battle of Surabaya” masih mempromosikan animasi ini ke sejumlah sekolah dan instansi pendidikan di Indonesia berupa limited screening dan seminar.

(c) MSV Pictures

Pada saat penayangannya, “Battle of Surabaya” mendapat impresi yang beragam dari penikmat film dalam negeri. Meski mendapatkan banyak penghargaan dan promosi yang megah, film ini tidak terlihat begitu memukau orang-orang yang menontonnya. Bukan hanya karena masa penayangannya bersamaan dengan Inside Out yang notabene produksi studio besar Pixar. Lalu, bagaimana sebenarnya kualitas film keluaran MSV Pictures ini? Mari kita lihat bersama.

 


 

Visual

Battle of Surabaya secara umum memiliki visual yang mumpuni. Pertama kali mengenal Battle of Surabaya melalui trailer-nya, mereka berusaha menampilkan pemandangan dan latar belakang yang mirip dengan tahun 1945. Ilustrasi pemandangan baik perkotaan maupun pedesaan ditampilkan secara memukau. Warna-warna pemandangannya mengingatkan kita kepada ilustrasi dua dimensi yang memukau seperti film animasi Jepang, terkhususnya Ghibli. Beberapa adegan pun mengkhususkan eksposisi pemandangan-pemandangan tersebut sehingga tidak heran banyak yang memuji tim background artist di film ini.

(c) MSV Pictures

Secara umum, “Battle of Surabaya” menginginkan produksi animasi 2D yang sederhana namun mengena di hati banyak orang. Belajar dari produksi animasi 2D Asia dan Amerika, tim produksi memutuskan mengambil desain karakter yang sederhana dengan konsep cel-shade dan gaya gambar lokal. Bisa dibilang desain karakternya mengikuti gaya gambar kreator-kreator lokal yang tidak banyak detil dan lebih mengutamakan bentuk unik pada rambut atau pakaiannya. Musa, Yumna, dan Danu menjadi primadona dalam desain karakternya.

Karena desain karakternya sederhana, ekspektasi penonton adalah animasi yang baik. Ini menjadi salah satu poin yang cukup menjadi dilema pasca orang-orang menonton. Dibandingkan animasi-animasi 2D lokal lainnya, Battle of Surabaya jelas merajai. Dengan menggunakan metode 24 fps dan keuntungan pada desain 2D, Battle of Surabaya memiliki keleluasaan untuk bereksplorasi dari gerakan karakter, ekspresi, begitu pula sinematografi. Sayangnya, ada ketidakselarasan kualitas animasi yang cukup jomplang di beberapa adegan inti. Penonton awam pun bisa melihat bagaimana animasi-animasi yang ditampilkan kadang terlalu kaku dan kadang terlalu luwes. Pada dasarnya tidak ada produksi animasi yang sama semua jika dipegang oleh lebih dari satu key animator, tapi hal ini cukup kelihatan karena kejadiannya ada pada adegan-adegan yang justru seharusnya menjadi fondasi di sepanjang filmnya.

Ada pun sinematografi yang ditampilkan sesungguhnya baik. Ermambang Bendung sebagai art director seyogianya turut senang karena ini adalah salah satu hal yang dipuji para penonton. Pemandangan yang memukau dengan penempatan karakter atau adegan-adegan yang ditampilkan mampu memberikan kesan yang baik. Sayangnya, transisi antar adegan maupun alur cerita menjadi permasalahan yang pelik sehingga semulanya penonton ingin menikmati adegan sebelumnya menjadi pecah dan justru kebingungan dengan keberadaan adegan selanjutnya.

Walau banyak inkonsistensi yang terjadi pada animasi maupun desain karakter sepanjang film, “Battle of Surabaya” berhasil mempertahankan kualitas animasi digitalnya dan berusaha menampilkan keselarasan antara animasi dengan latar belakangnya sehingga film tetap dapat dinikmati layaknya sebuah film animasi yang hidup.

 


 

Suara

Ketika saya berbicara mengenai In This Corner of The World, salah satu faktor terpenting di film perang adalah suara, apalagi jika film itu ditayangkan di bioskop. Kita bisa melihat sekian film bertemakan perang menampilkan suara-suara yang mencekam dan memukau seolah-olah kita berada di tengah-tengah peperangan tersebut. Tentunya tangan yang memegang bukanlah orang sembarangan.

Bagi saya, suara-suara yang dihasilkan “Battle of Surabaya” menjadi penyelamat yang luar biasa. Tim produksi mengungkapkan tingginya prioritas produksi suara dalam film ini karena latar belakangnya adalah perang. Tim suara”Battle of Surabaya” betul-betul menunjukkan kemampuannya dalam memproduksi suara-suara yang bersuasana perang seperti dentuman pistol, ledakan bom, dan lainnya. Ada sedikit distorsi pada bagian-bagian tertentu seperti tidak selarasnya suara lari Musa dengan animasinya, tapi itu mungkin bisa dimaafkan karena hampir semua adegan yang melibatkan peperangan menampilkan suara yang baik. Penggunaan Dolby Digital 7.1 pada saat itu menunjukkan bahwa tim suara betul-betul totalitas.

(c) MSV Pictures

Selain itu, tim musik “Battle of Surabaya” juga berhasil memberikan musik latar yang memukau dan memperkuat suasana mencekam serta penuh intrik di dalam film ini. Musik latar yang disandingkan memang diciptakan selayaknya musik-musik megah bertemakan perang kolosal layaknya film-film perang Hollywood yang full orchestra. Musik-musik ini juga mendapatkan penempatan yang baik dan mendukung adegan-adegan yang ada. Meski demikian, impresi penonton terhadap musik latar tidak sekuat lagu-lagu berlirik yang mengiringi perjalanan filmnya, baik lagu insert berjudul “Biar Kusimpan Rasa Ini” yang dibawakan Maudy Ayunda, “Akan Ku Tunggu” oleh Sherina, maupun lagu penutup “Mengingatmu” dari Angela Nazar. Meski mereka diakui sebagai musikus handal, keberadaan mereka tidak cukup menyinari Battle of Surabaya yang sebenarnya penuh dengan talenta sebagus mereka. Sesungguhnya lagu-lagu insert yang mereka tampilkan tidak selaras itu dengan musik latar sehingga pembawaannya cukup jomplang. Hal ini “didukung” dengan transisi antar adegan yang kurang pas sehingga orang-orang sulit menikmatinya.

Di produksi animasi, pengisi suara adalah aktor dan aktris yang dipilih oleh tim casting, dengan suara sebagai penilaian utama mereka. Semula “Battle of Surabaya” menggunakan pengisi suara yang sudah terbiasa mengisi suara di berbagai produksi hiburan dalam sanggar sulih suara. Namun, menjelang perilisan mereka memutuskan untuk memakai aktor dan aktris ternama sebagai pengisi suara, antara lain Maudy Ayunda sebagai Yumna dan Reza Rahardian sebagai Danu. Sementara itu, tokoh utama Musa diperankan oleh Ian Saybani yang berprofesi sebagai announcer di sebuah radio lokal dan penyulih suara untuk sejumlah animasi luar negeri.

Novie Burhan dan Ernanta Kusuma sebagai casting team dari Battle of Surabaya sesungguhnya bekerja dengan baik untuk menampilkan pemeran-pemeran yang memiliki suara pas dan ciamik untuk menghidupkan karakter-karakter di belakangnya, namun cukup fluktuatif bagi beberapa karakter. Karakter-karakter sampingan di dalam film ini memiliki logat dan suara yang berkarakter pas dengan penampilannya, termasuk karakter-karakter nyata seperti Sudirman atau Bung Tomo. Walau begitu, karakter-karakter sentral di dalam Battle of Surabaya cenderung sulit untuk konsisten. Suara Maudy Ayunda sebagai Yumna cukup dipertanyakan karena karakterisasinya tidak semelebur itu untuk anak usia 13-14 tahun. Sementara itu, Reza Rahardian berusaha keras untuk menjadi Danu yang bersifat stoic, meski kita tidak perlu meragukan kemampuannya berakting meski hanya dari suara saja. Walau begitu, Ian Saybani dirasa bekerja dengan baik sebagai Musa. Kemampuan dan jam terbangnya sebagai pengisi suara animasi tentu tidak perlu diragukan lagi. Mungkin ada kecanggungan di beberapa adegan karena minimnya sinkronisasi antara Musa dengan sekelilingnya.

Jika ditanya apa yang masih bisa diselamati kepada “Battle of Surabaya”, mungkin suara menjadi salah satu alasannya. Tentunya suara yang sebaik ini bisa dinikmati di bioskop dengan suasana yang mantap, dan ini yang membuat penonton seharusnya betah menonton film ini.

 


Konsep dan Penceritaan

Penampilan dan suara mungkin memberikan impresi awal yang baik bagi sebuah film, tapi cerita, konsep, apalagi daya nikmatnya justru yang mempertahankan impresi tersebut sampai akhir. Karena itu, banyak penonton yang menilai bagus tidaknya sebuah film justru dari alur cerita dan konsep yang mereka tampilkan. Tak hanya itu, penonton pun juga menilai dari seberapa baiknya kemampuan film untuk tetap menarik pandangan penonton sampai film tersebut usai.

Bukan gampang menetaskan sebuah film animasi di Indonesia, apalagi selesai. Terlebih lagi, betapa sulitnya mengeksekusi film ini menjadi tontonan yang baik. Battle of Surabaya pun butuh 5 tahun untuk bisa mewujudkan film ini. Namun, pada kenyataannya film ini terasa tidak seberkualitas itu terutama dari segi eksekusi cerita. Mungkin segi visual dan audio masih bisa dimaklumi, tapi rasanya saya setuju dengan banyak teman sesama penikmat dan jurnalis kritikus film yang mengiyakan bahwa cerita dan eksekusi “Battle of Surabaya” justru menjadi batu sandungan terbesarnya.

(c) MSV Pictures

Mari kita lihat konsepnya. “Seorang anak bernama Musa menjadi kurir pesan para pejuang di tengah perang pasca kemerdekaan Indonesia di Surabaya”. Kalimat ini mengangkat bahwa di tengah-tengah peperangan ada seseorang yang berperan besar, yaitu anak muda bernama Musa, yang bertugas mengirimkan pesan bagi para pejuang di tengah tingginya tensi peperangan pada masa tersebut. Maka, ada beberapa hal yang menjadi sorotan, bahwasanya film “Battle of Surabaya” adalah sebuah film spin-off yang mengambil peristiwa 10 November 1945 di Surabaya sebagai latar belakangnya dan mengangkat sisi lain di luar peperangan tersebut.

Film dimulai dengan tingginya tensi peperangan di Surabaya pasca insiden Hotel Yamato pada tanggal 19 September 1945. Diduga latar belakang film “Battle of Surabaya” diselipkan antara pasca insiden Hotel Yamato hingga puncak peperangan pada tanggal 10 November 1945, yang di antaranya ada peristiwa tewasnya Brigjen Mallaby dari Inggris pada tanggal 30 Oktober 1945. Hal ini dimanfaatkan oleh tim penulis untuk meramu bagaimana peran Musa dan kawan-kawan untuk menunjukkan konflik-konflik di dalam film ini.

Musa sang penyemir sepatu yang menjadi kurir pesan (c) MSV Pictures

Mulanya penonton diperkenalkan kepada Musa sebagai penyemir sepatu yang kemudian direkrut oleh pejuang nasional untuk mengirimkan pesan kepada pejuang-pejuang yang gerilya di luar kota. Sepanjang film, kita diberi ekspektasi bahwa surat-surat dan pesan yang dibawa oleh Musa memiliki plot device yang penting bagi perkembangan film. Begitu pula dengan perkenalan karakter-karakter seperti Yumna dan Danu yang memiliki porsi tayang cukup pesat di bagian pertengahan hingga akhir film. Bisa jadi karakter-karakter sejarah lainnya pun juga memiliki peran untuk membawa intrik cerita dalamnya menarik.

Namun, ternyata ekspektasi itu tergantung terus hingga akhir cerita. Alih-alih mengangkat konflik dalam perangnya, kita justru dihadapkan kepada alur cerita dan karakterisasi yang tidak tahu arahnya ke mana. Interaksi karakter yang tidak kuat, transisi adegan yang terburu-buru, dan intrik kisah yang asal lempar. Ketika kita menonton sebuah film, hal yang paling dasar dalam awal film adalah “mengundang penonton”, baik melalui perkenalan karakter, dunia, dan lainnya. Sebenarnya adegan awal film ini baik karena memberikan pemandangan kehadiran kapal dan pesawat perang yang mencekam. Namun ketika Musa dan kawan-kawan masuk ke dalam alur cerita, semuanya terasa hampa. Mungkin penonton diajak untuk melihat kegiatan sehari-hari Musa, tapi tidak ada masa-masa penonton untuk terikat dengan karakterisasinya. Ini pun juga dirasakan bagi karakter-karakter lainnya. Lucunya, karakter sampingan seperti pejuang berlogat ‘arek suroboyo’ justru memberikan kesan lebih kuat dibandingkan lainnya. Bukan masalah porsi tayang, tapi bagaimana semua tim, terutama penulis, memberikan ‘nafas’ bagi karakternya dengan memberikan waktu bagi penonton berkenalan dengan karakter tersebut melalui kegiatan mereka dan sudut pandang mereka. Ini adalah sebuah ilmu yang cukup sulit diimplementasikan jika kreator tidak terinvestasi bagi ciptaannya.

Cerita yang diangkat pun cukup ngawang. Meski bertemakan “kisah anti-perang”, Battle of Surabaya tidak sefokus itu pada nuansa perangnya, baik dari sisi sebagai korban atau pun sebagai pelaku langsung. Entah dari mana mereka mendapatkan inspirasi sehingga dengan gampangnya mereka menyelipkan kelompok Kipas Hitam yang didesain sebagai villain dari film ini. Mungkin organisasi yang bersangkutan mau disangkutkan sebagai peristiwa fiktif pembunuhan Brigjen Mallaby atau sumber perpecahanan 10 November 1945. Sayangnya, entah karena minimnya slot waktu atau kurangnya konsepsi organisasi sehingga kisah kelompok ini hanya terkesan plot tambahan untuk membuat kisah di dalam “Battle of Surabaya” lebih “tragis”.

Memang tidak selamanya film bertemakan perang harus selalu bercerita tentang konflik dalam perangnya. Tak sedikit orang yang membandingkan kisah-kisah “Battle of Surabaya” dengan film bertemakan anti-perang lainnya, termasuk legenda animasi anti-war “Grave of The Fireflies” (Isao Takahata, Studio Ghibli, 1988) yang mengangkat perjuangan hidup kakak adik pasca Perang Dunia II di Jepang. Mereka tidak menampilkan adegan perang, namun nuansa yang harus dihadapi oleh karakter ketika perang sedang atau telah terjadi tetap harus mengelilingi mereka, dan itu menjadi penguat karakterisasi mereka. Itu ‘toh yang menjadi latar belakang kisah tersebut berada, mana mungkin nuansanya tidak ditampilkan?

Yumna, kawan Musa yang manis namun misterius (c) MSV Pictures

Ketika berbicara mengenai kisah yang memberikan pesan anti perang, tentunya yang dieksposisi adalah sudut pandang karakter-karakter dan tindakan mereka terhadap perang. Sayangnya, tidak banyak waktu (atau mungkin perhatian kreator) untuk memberikan nuansa perang dan sudut pandang tersebut. Lebih banyak waktu yang mereka pakai untuk mengangkat kisah cinta segitiga antara Musa, Yumna, dan Danu, serta konflik-konflik di antara mereka bertiga. Hal-hal demikian sesungguhnya tidak mendukung betul worldbuilding dari “Battle of Surabaya” sehingga penonton tidak terikat dengan dunia di dalamnya. Tidak ada kesempatan bagi penonton untuk melihat karakterisasi mereka, meresapi sudut pandang mereka, apalagi masuk ke dalam dunia mereka. Boro-boro menanggapi opini mereka, berkenalan pun rasanya sulit. Slogan “there is no glory in the war” hanya menjadi slogan semata untuk memperjelas apa yang sebenarnya ingin disampaikan film in bagi penonton. Kita diberi tahu tujuannya tapi tidak dipandu sampai ke sana. Bukankah itu hanya membuat penonton menjadi linglung?

Sepanjang tayang, film “Battle of Surabaya” terkesan hambar, dan ini yang saya takutkan. Ketika saya mengunjungi seminar film dan promosi “Battle of Surabaya” di Bandung, tim produksi mengungkapkan bagaimana film ini dibuat terasa ambisius dengan menunjukkan aspek-aspek yang membuat sebuah film di Hollywood populer, seperti pengambilan gambar dari sudut yang beda, kisah anak muda, tragedi, dan adegan-adegan megah lainnya. Selain dengan riset, mereka mengusahakan karakter-karakter di dalamnya ikonik dan diharapkan ‘populer’ di kalangan penonton melalui desainnya. Ketika meresapi pernyataan-pernyataan berikut, saya takut bahwa film ini hanyalah kompilasi adegan-adegan terbaik Hollywood yang dianimasikan dengan harapan film ini sejajar dengan film-film Hollywood lainnya. Yang terjadi adalah film ini betul-betul serangkaian “adegan-adegan terbaik” belaka.

Rasanya sulit untuk menyangkal bahwa sutradara dan penulis film “Battle of Surabaya” tidak mesti bertanggungjawab paling berat di balik permasalahan ini. Mereka mungkin terlalu terlena dengan aspek-aspek “bikin populer” di atas sampai lupa bahwa esensi dari animasi adalah “menghidupkan”, bukan sekedar “menggerakkan”. Alih-alih memberi nafas, “Battle of Surabaya” hanya memberikan cuplikan peperangan yang intensif di awal dan akhir film dan memberikan kumpulan kisah sampingan di tengah-tengah. Bahkan mungkin saja ada yang memutuskan untuk tidur sepanjang film serta hanya bangun di awal dan akhir atau klimaks film ini.

Satu-satunya hal yang mengena bagi penonton adalah kentalnya nuansa interaksi orang Jawa Timur di beberapa adegan. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, ada karakter sampingan yang berlogat Jawa Timur dan memiliki kesan yang dalam bagi penonton. Hal ini yang membuat orang masih berpikir “oh, ini film tentang orang Surabaya”, dan masih mau melihat bagaimana keberadaan mereka sampai akhir. Andaikan mereka yang menjadi tokoh utama, mungkin penonton masih setidaknya menikmati karakter mereka sampai akhir. Sayangnya, ceritanya hanyalah secuil kisah-kisah lainnya yang lebih penting.

Sesungguhnya konsep “Battle of Surabaya” tidaklah buruk. Bukan pekerjaan mudah untuk mengadaptasi sebuah peristiwa sejarah di tengah bangsa yang rumit ketika kisah-kisah “sakral” disadur menjadi dasar sebuah kisah fiksi. Hanya saja, film ini rasanya kurang cocok memegang judul “Battle of Surabaya”. Sudut pandang Musa tidak mewakilkan betul orang-orang Surabaya yang menjadi korban maupun pejuang Surabaya. Musa yang seharusnya menjadi karakter utama dan pemegang sudut pandang utama dalam film ini tidak berhasil mengikat di hati penonton dan justru membuat film ini terombang-ambing. Sungguh sayang, konsep yang baik justru tidak tereksekusi dengan baik, gampang terlupakan dan mudah dibuang.

 


Kesimpulan

Battle of Surabaya adalah sebuah pencapaian yang perlu tercatat di blantika animasi Indonesia. Dibandingkan dengan produksi animasi 2D lokal lainnya, film ini menunjukkan bagaimana pesatnya perkembangan dan kualitas animasi dalam negeri. Bisa dikatakan “Battle of Surabaya” adalah  cerminan nyata dari industri animasi kita. Kualitas produksi teknis, animasi, desain, hingga produksi suara, terbukti baik dan potensial. Tidak heran jika Indonesia saat ini menjadi ladang subur bagi produsen kreatif internasional untuk outsourcing maupun perekrutan tim produksi animasi di dunia.

Namun, bagaikan ombak yang terombang-ambing, kualitas film “Battle of Surabaya” bisa jadi mencerminkan proses produksi di belakangnya. Teknisnya baik, namun tidak berhasil menyatu sebagaimana mestinya. Film ini seperti sebuah rumah megah yang kosong, terlihat indah di luar namun hampa di dalam, seakan-akan dingin tanpa hati di dalamnya. Kualitas yang fluktuatif dan rapuh membuat “Battle of Surabaya” seolah-olah gampang goyah dan diabaikan penikmatnya.

Potensi film ini cukup baik namun sayang tidak diimbangi dengan hasilnya. Promosi dan marketing yang begitu kencang tidak membuat film ini menarik perhatian industri sinema Indonesia. Alih-alih ambisius, makin ke sini malah justru pretensius. Memang tidak heran jika trailer-nya yang lebih banyak dapat sorotan apalagi penghargaan, toh hanya promosinya yang memang bagus.

Musa dan Yumna (c) MSV Pictures

Walau begitu, film ini selesai, dan itu sebuah pencapaian yang besar bagi setiap karya kreatif Indonesia. Tentunya “Battle of Surabaya” bisa menjadi kesempatan besar bagi industri animasi Indonesia serta penikmatnya untuk berembuk dan mengevaluasi bagaimana seharusnya sebuah produksi animasi tercipta. Lebih dari sekedar berkreasi dengan fisik, berkarya juga membutuhkan hati. Seandainya lebih banyak yang menaruh hatinya untuk Musa dan kawan-kawan, mungkin akan lebih banyak hati yang tertarik untuk menikmati apalagi terinspirasi dengan film ini sebagaimana impian seluruh kreator di dalam negeri ini.

 


 

Aftermath

“Mengapa harus ada perang?”

Pertanyaan ini selalu menjadi perenungan bagi setiap orang ketika mendengar bahwa ada perpecahan yang melibatkan massa. Mungkin ada yang merasa bahwa konflik tidak akan terelakkan, namun di sisi lain banyak orang yang lebih mengharapkan perundingan. Namun, tidak keduanya menjamin penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak. Karena itulah perang pun tidak bisa dihindari lagi.

Siapa pun itu, baik rakyat sipil maupun pejuang militer dari semua sisi adalah korban. Mereka menginginkan keberadaan mereka diakui dan memegang idealisme masing-masing untuk bertahan. Mereka tidak ingin segampang itu berakhir, karena perang bukanlah tujuan mereka ada di sini. Sayangnya, tak ada satu pun yang mau mengalah. Pembunuhan terkuak, perang pun meledak. Siapa yang harus disalahkan?

(c) MSV Pictures

Pada akhirnya, tidak ada kemuliaan di dalam perang. Begitu banyak yang menginginkan kehidupan, namun harus mengakhiri kehidupan lainnya. Apakah mungkin semuanya berakhir jika tidak ada satu pun yang mengistirahatkan senjatanya? Bagaimana kalau semuanya lebih baik beristirahat sejenak dan mendamaikan diri kita sendiri?

Kita semua manusia, kita semua lemah dan kuat, dan semuanya berawal dari diri kita sendiri demi dunia yang lebih baik.

One thought on “Ulasan dan Impresi: Battle of Surabaya

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.